Wawancara Orang Terkaya RI ke-4
Ada Orang Terkaya Indonesia Keliling Dunia Bagi-bagi Duit
Pria kelahiran Surabaya ini merupakan seorang pengusaha, investor, sekaligus pendiri Mayapada Group yang sukses berkiprah sejak puluhan tahun. Mayapada Group ialah sebuah holding company yang memiliki beberapa unit bidang usaha mulai dari perbankan, TV berbayar dan media cetak, properti hingga rumah sakit.
Selain sebagai konglomerat ternama Indonesia, Tahir juga dikenal sebagai seorang dermawan yang tak segan menyumbangkan sebagian harta miliknya atas nama kemanusiaan. Sudah tak terhitung berapa jumlah sumbangan yang ia berikan pada orang-orang tak mampu.
Aksi memberikan sumbangan atau bisa dibilang bagi-bagi duit ini tak hanya dilakukan Tahir di Indonesia, tapi juga di negara-negara lainnya. Tahir pun beberapa kali berkeliling dunia untuk memberikan bantuan demi kemanusiaan.
Kegiatan yang dilakukan oleh Sang konglomerat ini membuat banyak orang penasaran terhadap alasan, serta tujuan yang dilakukannya. Sebab, tak banyak konglomerat atau pengusaha lain yang melakukan pemberian sumbangan atau bagi-bagi duit, sesering yang dilakukan Tahir.
Kepada detikFinance, pria kelahiran 26 Maret 1952 ini pun banyak bercerita mengenai kisah hidup dan karirnya, hingga kegiatan bagi-bagi duit yang kerap dilakukannya. Berikut petikan wawancara khusus detikFinance dengan Sang konglomerat Indonesia ini di kantor pusat Mayapada, Jakarta, Kamis (15/3/2018) lalu.
Berikut wawancara selengkapnya:
Pertama-tama, bisa diceritakan bagaimana Anda merintis karir bisnis?
Dari awal dulu ya saya dagang, gagal, turun, gagal, naik, gagal, naik begitu saja sampai punya bisnis seperti sekarang. Sebelum kawin, saya sudah jadi inang-inang. Inang-inang itu kalau ke luar negeri, bawa koper, isi apa saja, sampai di Surabaya di jual-jualin.
Inang-inang Itu bahasa Batak, jadi orang Batak itu ya, ibu-ibu itu biasanya ke Singapura beli piring, nanti ikut pelabuhan, kapal, sampai turun kapal itu Bea Cukai nggak bisa nangkep, karena 100 orang itu. Saking banyaknya di kasih lewat. Saya mulai bekerja saat itu.
Itu tahun berapa itu, saya jadi inang-inang itu sejak 1970-1971, itu umur 18 tahun jadi inang-inang.
Kenapa memilih jadi inang-inang?
Ya cari uang, itu terinspirasi dari ibu. Ibu saya itu tangguh. Sampai sekarang itu ibu saya masih hidup, masih kerja. Umur 87 tahun. Kerja di bank kita, terima gaji. Padahal sama anaknya apa saja dikasih, tapi dia nggak mau, dia mau kerja, hidup nggak mau tergantung orang lain. Itu yang menginspirasi kita.
Saya itu dari Surabaya, dulu rumah saja kontrak. Saya lahir rumahnya kontrak, sampai umur 20 tahun rumahnya masih kontrak di Surabaya. Lebar rumah saya berapa kira-kira 3,5 meter atau 4 meter sama panjang.
Bu Risma (Walikota Surabaya) saja bilang sama saya, ‘Pak Tahir itu saya taruh becak di museum Surabaya supaya ingat asal-usulnya’, begitu kata beliau. Becak saya dulu becak Solo, karena ibu saya orang Solo kan. Bikin becak Solo lalu disewakan ke orang.
Berapa lama jadi inang-inang?
Itu sekitar 1-2 tahun. Terus saya sambil sekolah di Singapura sekalian.
Modal awalnya dari mana?
Ibu saya kasih modal Rp 700 ribu, terus saya beli boneka di Singapura, saya beli baju di sana, saya beli album foto, beli sapu, barang impor kan tuh, wah sekali waktu itu di Surabaya.
Setelah itu sekolah S1 di Singapura, pas balik lagi ke Indonesia kan menikah sama anaknya Pak Mochtar Riady, jadi mantunya orang kaya. Tapi kitanya belum kaya, baru kemudian dagang impor barang, impor makanan, permen, minuman, dari Taiwan, Hongkong, sempat berkembang, terus mulai dagang impor pecah belah dari China.
Itu sudah membangun Mayapada?
Belum, tahun 1980-an saya buka Mayapada Mobil, jadi agen Suzuki, tahun 1987 dicabut izinnya. Dulu ada dua agen, satu Mega Utama, satu Mayapada. Mega Utama ini bangkrut, makan duitnya Salim Group, Antony Salim, Om Liem. Karena Om Liem takut kalau ini Mayapada jatuh juga, akhirnya ini agen dibuka, kita jadi nggak untung. Dulu kalau agen kan ada untung, sekarang kan dealer. Ditutup, orang yang kredit kan nggak mau bayar.
Jadi saya sempat bangkrut, lalu saya pindah ke garmen, dibantu Dirjen Perdagangan Luar Negeri namanya almarhum Pak Nainggolan. Saya dikasih kuota, saya bisa ekspor. Sampai tahun 1990 udah mendingan, saya buka Bank Mayapada sampai hari ini. Mulai tahun 1990 sampai hari ini lancar terus, selama 28 tahun.
Saat terjadi krisis moneter, bagaimana bisnis Anda?
Saya lewati itu, saya aman. Orang saya nggak ada pinjaman. Kalau saya pinjam, saya tidak aman. Catatan saya pokoknya begini, saya tidak pernah kerja proyek pemerintah dalam hidup ini, tidak pernah. Saya tidak mau.
Bukankah pengusaha biasanya berebut proyek pemerintah?
Iya biasanya pada berebut jatah proyek, tapi saya nggak mau. Saya mau bersih saja, saya nggak mau minta-minta. Saya nggak mau minta-minta jatah, itu satu. Kedua saya tidak pinjam pemerintah pemerintah. Jadi saya pengusaha yang bersih dari BPPN, tidak ada tersangkut BPPN. Pokoknya nggak mau.
Saya sumbang 1.000 rumah untuk TNI diobok-obok wartawan ya toh. Nah ada apa ini belakangnya ini? Ya nggak ada apa-apa memang belakangnya. Saya cuma mau sumbang.
Dulu Anda termasuk dalam keluarga susah atau berkecukupan?
Begini, waktu kita kecil kita nggak merasa susahnya. Orang tua yang merasakan susahnya, karena kan orang tua kasih makan yang cukup, kita nggak merasakan susah, tapi kita merasakan minder.
Saya minder itu ya, sangat minder kira-kira sampai umur 40-an. Masih minder. Karena begini, Anda mungkin bisa bayangin ya, saya nikah jadi keluarganya orang kaya, saya di keluarga orang kaya nggak dihormati loh. Karena mereka itu menempatkan diri sebagai anaknya orang kaya. Mereka pikir Tahir ini apa?
Jadi saya berjuang, saya tidak ada dendam, tapi saya tidak mau diremehkan. Itu berat sekali. Maka itu, saya tidak senang dengan orang kaya, saya benci sama orang kaya.
Bukankah Anda sendiri orang kaya?
Saya kasih tahu Anda, saya benci orang kaya. Orang kaya saya anggap itu imperialisme. Orang kaya itu kerjanya menindas, orang kaya itu kerjanya membully orang. Sampai sekarang. Habitat saya itu ada di orang miskin. Itu habitat saya.
Klik next ke halaman berikutnya soal kedermawanan Tahir.
Foto: Fadhly Fauzi Rachman/detikFinance
Anda dikenal sebagai filantropi, seberapa penting hal itu bagi Anda?
Terima kasih kalau dianggap seperti itu, moga-moga itu benar. Itu pengaruh hidup saya, itu ibadah saya. Bagi saya itu ada tiga hal penting dalam hidup saya. Yang pertama, saya mau ibadah saya baik di depan Tuhan, berkenan lah. Nanti suatu hari saya menghadap Gusti Allah sang pencipta, saya, rapor saya lulus, itu penting.
Hidup ini kan bukan cuma sekarang, ada yang akan datang. Kalau cuma sekian, ya nggak apa, kalau nggak ada hidup yang akan datang ya saya habiskan saja uang saya. Karena ada hidup yang akan datang, saya harus hati-hati. Saya harus berbuat yang baik sehingga ibadah saya diterima dengan baik.
Kedua, karena saya lahir di Indonesia, saya hidup di Indonesia, saya mau lihat masyarakat Indonesia, mungkin cuma sebagian kecil, tapi karena kehadiran saya, saya bisa rubah nasibnya sedikit. Saya puas, senang saya. Ketiga saya juga mau lihat keturunan saya bener, anak-anak saya jadi orang baik. Tiga hal ini harapan saya di dalam hidup itu.
Sudah seberapa sering Anda membagikan sumbangan? Ke mana saja?
Begini, kita kerja sesuatu hal yang sosial, tidak usahlah harus pakai upacara, tidak usah harus lihat hari, Jumat Kliwon, kita nggak usah lihat hari Minggu, tidak. Kerja baik itu setiap saat dimana saja, kapan saja. Misalnya, saya lewat Singamaraja, lihat ada anak jualan, namanya Ayu jualan bunga ujan-ujannan. Saya bilang sama dia, besok karyawan saya datang ke sini mengurus kamu, lalu kita lihat oh rumahnya di sini, kita bayarin rumahnya.
Lalu di Surabaya, di Medan. Di Medan anak kecil jual koran, sekarang sudah mau sekolah kedokteran. Lalu misalnya ada anak penjual susu kacang kita bantu, sekarang sudah jadi dokter. Itu kita lakukan. Artinya begini, kerja baik itu bukan pakai upacara, tidak pilih hari, tidak pilih saya lagi senang atau saya lagi tidak senang, saya lagi untung atau lagi tidak untung, itu nggak.
Tiap kali Indonesia ada bencana saya di tempat, nggak pernah nggak ditempat. Sinabung saya di lokasi, gempa di Yogyakarta saya di lokasi, gempa Padang saya di lokasi, banjir di Jawa Tengah saya di lokasi, banjir di Manado saya di lokasi, saya datang sendiri. Bukan hanya bantu uang, tapi saya pribadi datang.
Filantropi adalah sebuah komitmen, bukan karena orang lain, filantropi bukan sedekah, filantropi bukan persepuan, filantropi bukan CSR, filantropi adalah sebuah komitmen Anda terhadap hati nurani Anda.
Selain di dalam negeri, Anda juga keliling dunia untuk memberikan sumbangan?
United Nation itu, saya punya cucu angkat orang Suriah. Rohingya kita juga bantu, siapa saja. Sampai saya datang ke perbatasan Irak, itu saya datang juga. Saya mau merasakan.
Sudah ke negara mana saja?
Saya nggak tahu, Middle East, Timur Tengah, Nanti saya juga ke Beirut mengurus Palestina. Beberapa negara saja. Saya bantu anak Unicef, di Sudan saya bantu.
Kenapa Anda memberikan bantuan sampai ke luar negeri?
Senang saya, gampang kasihan saya orangnya. Itu saja, melihat apa nggak tega, melihat apa nggak tega.
Bantuan apa yang anda berikan? Berapa jumlahnya?
Iya bentuk uang. Nggak pernah hitung saya berapa jumlahnya. Ngapain saya hitung. Orang niat saya hanya untuk membantu, jadi nggak pernah memikirkan untuk hitung-hitung berapa jumlahnya itu.
Anda tidak takut rugi?
Rugi apanya? Ya nggak apa-apa dong. Belum pernah dalam hidup ini, saya lihat orang kerja baik dan bangkrut, itu belum pernah. Saya belum pernah lihat ada orang sumbang orang miskin, dia jadi bangkrut. Jadi miskin. Tapi saya sudah sering lihat konglomerat jadi bangkrut.
Tahun 1997, Indonesia, kita nggak usah sebut nama lah, itu top 10 konglomerat semua bangkrut. Tapi dalam hidup saya, saya punya keyakinan, dan tidak pernah melihat, orang berbuat kebaikan dan bangkrut, belum pernah.
Apa Anda fokus membantu di sektor tertentu?
Pendidikan dengan kesehatan. Di Sudan pendidikan saya bantu. United Nation yang bagian anak-anak saya bantu. Tenaga-tenaga kerja Indonesia juga saya bantu, bagi mereka yang membutuhkan. Siapa saja yang membutuhkan biasanya saya bantu sebisanya.
Sudah berapa orang kira-kira yang sudah pernah Anda bantu?
Nggak mau saya hitung itu, saya nggak mau tau, saya nggak mau pusingin. Saya nggak mau bicara mengenai cost and benefit. Saya bicara mengenai saya lihat orang menjadi baik, bantuan saya mungkin U$ 1 bisa merubah nasib dia. Thats enough.
Mohon maaf ini, coba dipikirkan uang satu juta makan di restoran belum tentu cukup. Tapi uang satu juta itu bisa merubah nasib satu keluarga. Kalau kita pikir rasional, yang tenang, kerakusan kita, keserakahan kita, kita buang itu semua untuk bisa membantu yang lain.
Ada rencana untuk kembali ke negara lain memberikan sumbangan?
Mau berangkat lagi mungkin sekitar April kalau tidak salah, Yordania, ke Beirut, terus mengurus suriah sama Palestina.
Kenapa pilih ke negara itu?
Nggak tahu, saya ingin saja karena saya lihat orang di sana, hati nurani saya ingin ke sana. Nggak tahu kenapa.
Sejak kapan Anda mulai sering memberikan sumbangan ini?
Sejak muda, saya lupa sejak kapannya. Hanya skalanya saja begitu kan, lebih mampu ya skalanya lebih, kalau kurang mampu ya skalanya kecil.
Apakah ini dilakukan saat Anda sudah sukses?
Saya nggak pikir itu, saya pikir bagaimana orang itu diringankan bebannya. Saya tipe orang yang seperti ini, kalau saya makan roti, keliatan orang nggak punya makan, saya bersedia bagi separuh biar makan sama-sama.
Apa mereka yang diberikan bantuan tahu bahwa Anda salah satu orang terkaya di Indonesia?
Nggak juga, banyak orang yang nggak tahu siapa saya. Misalnya saya cerita ya, dengar nggak di medsos, bahwa di Makassar ada anak kecil satu, laki. Ibunya sakit, ibunya buta, adik-adiknya sakit, dia setiap hari mengurus keluarga. Itu saya yang tolong. Saya dengar itu, saya kirim pimpinan cabang saya di Makassar, naik mobil lima jam ke kampungnya, dan dirawat. Dia tidak tahu siapa Tahir itu, apa orang-orang seperti itu tahu siapa Tahir? Nggak tahu. Anak kecil itu.
Lalu ada di Jawa Timur, yang kena kanker, saya bantu ke Jakarta untuk operasi. Ya mana dia tahu saya ini siapa. Tapi saya nggak pusing dia nggak tahu atau bagaimana, karena apa yang saya kerjakan kan diperhitungkannya sama yang di atas. Saya kan mengisi rapor nih, rapor itu nanti saya bawa ke sang pencipta.
Bagaimana Anda membagi waktu mengurus perusahaan dengan membagi sumbangan?
Ya saya kan setiap hari menerima 10 permohonan surat bantuan pribadi. Saya masih bisa handle itu, kan saya juga ada orang-orang yang membantu saya di sini, saya percaya. Tapi kalau ada yang minta bantuan modal kerja nggak saya kasih.
Kenapa?
Kalau modal kerja (pinjam) ke bank saja, saya nggak bisa bantu. Tapi kalau you miskin, nggak bisa makan, saya kasih bantuan yang cukup. Sakit, nggak bisa berobat, saya kasih. Kalau modal kerja kan saya nggak tau you mau kerja apa, nggak sembarangan saya. Kalau modal kerja nggak mau, utang rentenir saya bayarin saya nggak mau. Kan nggak tau dia utang itu buat apa, mungkin dia judi, mungkin ya, atau dia dagang nggak terlalu pintar, ya saya nggak tahu.
Apa misi Anda melakukan ini semua?
Saya sudah bilang, saya adalah pribumi, perilaku cinta bumi Indonesia. Singkatan pribumi itu. Pribumi itu bukan karena dilihat dari KTP-nya, bukan dilihat dari asal orang tuanya, tapi dilihat dari perilakunya baru menentukan orang itu. Apa artinya kalau you Indonesia tapi jadi penghianat negara, apa artinya kalau pribumi asli tapi kerjanya cuma yang nggak baik, sebaliknya kalau ada satu orang minoritas tapi kerjaan baik, dia juga pantas disebut pribumi.
Jadi paling penting itu perilakunya bukan KTP-nya. Coba, Anda bisa nggak menentukan Anda mau lahir dimana? Mau anak siapa? Menentukan kapan Anda lahir? Tidak bisa. Artinya apa? Itu wilayah Gusti Allah, tidak ada manusia yang berhak menentukan, menyentuh wilayah itu.
Saya dilahirkan di Surabaya, di tempatnya orang penyewa becak, iya toh, di rumah kontrakkan nomor 20, itu adalah ‘Atas’ yang menentukan. Tetapi, ada hal yang bisa kita pilih dalam hidup, Anda mau jadi, atau Anda mau jadi tidak baik. Dan saya mau jadi orang baik, itu bisa saya pilih.
Harapan Anda dengan melakukan ini semua?
Harapan saya agar pengusaha Indonesia, yang sudah menikmati keuntungan di Indonesia, harus berbagi lah apa yang mereka miliki. Karena dengan berbagi itu, amal mereka juga baik, hidup rakyat Indonesia juga bisa lebih baik, negara lebih aman.
Lalu lihatlah satu kecantikan harmonis, tidak lagi ada namanya orang kaya orang miskin, tidak ada orang beruntung dan tidak beruntung. Orang yang beruntung ya bantu yang tidak beruntung, orang kaya ya bantu yang miskin, itu sudah hukumnya.
Karena saya pikir begini, apa sih susahnya bagi konglomerat ya, menyisakan misalnya 10% hartanya diberikan kepada umat, atau diberikan kepada rakyat yang paling bawah. Apa susahnya? Saya terus berbicara logika. Kalau pengusaha itu pikirannya masih cost and benefit, okelah saya terima. Tapi saya meng-argue, benefit ini udah diambil, tapi you belum pernah bayar costnya loh.
Kalau kita tidak lahir di indonesia, besar di Indonesia, bisa nggak kita jadi orang terkaya 100 besar di dunia itu? Nggak ada bagiannya. Kalau kita lagi sial nih ya, tinggal di Sudan, Nigeria, Uganda, belum tentu bisa kita.
Nah kalau saya, saya renungkan, bagi saya jangan bilang 10%, 50% juga saya bagikan. Soalnya apa? Loh, apa susahnya gitu loh, kita bicara logika saja, bicara yang sangat rasional. Kita ini kalau tidak di Indonesia, tidak cari uang di Indonesia, kita tuh nggak ada apa-apanya.
Jadi kalau kita semua pengusaha ya, semua punya pikiran kaya begitu, Indonesia ini kan jadi teduh. Kita sudah tidak kelihatan lagi ada anak pinggiran di pinggir jalan, kita sudah tidak lagi anak sekolah yang nggak mampu beli seragam, kita nggak lagi lihat yang lewat pinggir kali harus lewat medan berat untuk sekolah, kita nggak lihat lagi ada orang di pelosok-pelosok yang susah makan.
Apa yang harus dilakukan agar bisa sukses seperti Anda?
Kita ini harus punya mimpi, untuk mimpi itu kita hidup. Tapi mimpi itu tidak bisa tunggu di rumah, kita harus kerja keras, cari kesempatan.
Saya sekarang umur 66 tahun, kalau dibilang saya termasuk ada sedikit kesuksesan. Itu sampai hari ini, saya bangun jam 05.30 pagi, saya kantor jam delapan sudah di kantor. Saya pulang jam enam sore. Saya malam tidak hangout, tidak keluar, tidak makan-makan di restaurant, karaoke, merumpi sana-sini seperti kebanyakan orang.
Saya itu pulang, baca korang, nonton tv, saya memperdalam saya punya pengetahuan. Hidup teratur dan sehat. Cari ilmu, kerja keras sampai kapan pun. Sampai sekarang saja, saya sekarang murid S3 Universitas Gajah Mada di UGM.
(fdl/ang)